Kamis, 13 November 2014

Perkembangan Koperasi Di Indonesia

Perkembangan Koperasi Di Indonesia

Sejak lama bangsa Indonesia telah mengenal kekeluargaan dan kegotongroyongan yang dipraktekkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Kebiasaan yang bersifat nonprofit ini, merupakan input untuk Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 yang dijadikan dasar/pedoman pelaksanaan Koperasi. pertengahan abad ke-18 penemuan di bidang teknologi ( revolusi industri ) melahirkan tata dunia ekonomi baru. Kaum kapitalis atau pemilik modal memanfaatkan penemuan barunya untuk memperkaya dirinya dan memperkuat kedudukan ekonominya. Hasrat serakah ini melahirkan persaingan bebas yang tidak terbatas. Sistem ekonomi kapitalis / liberal memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pemilik modal dan melahirkan kemelaratan dan kemiskinan bagi masyarakat ekonomi lemah.

Dalam kemiskinan dan kemelaratan ini, muncul kesadaran masyarakat untuk memperbaiki nasibnya sendiri dengan mendirikan koperasi. Pada tahun 1844 lahirlah koperasi pertama di Inggris yang terkenal dengan nama Koperasi Rochdale di bawah pimpinan Charles Howart. Di Jerman, Frederich Willhelm Raiffeisen dan Hermann Schulze memelopori Koperasi Simpan Pinjam. Di Perancis, muncul tokoh-tokoh koperasi seperti Charles Fourier, Louis Blance, dan Ferdinand Lassalle. Demikian pula di Denmark. Denmark menjadi Negara yang paling berhasil di dunia dalam mengembangkan ekonominya melalui koperasi. Kemajuan industri di Eropa akhirnya meluas ke Negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Koperasi memang lahir dari penderitaan sebagai mana terjadi di Eropa pertengahan abad ke-18. Di Indonesia pun koperasi ini lahir sebagai usaha memperbaiki ekonomi masyarakat yang ditindas oleh penjajah pada masa itu.

Zaman penjajahan Belanda

Perkenalan bangsa Indonesia dengan koperasi dimulai pada penghujung abad ke-19, tepatnya tahun 1895. R. Aria Wiriaatmaja seorang patih di Purwokerto sebagai pelopor berdirinya sebuah bank yang bertujuan menolong para pegawai agar tidak terjerat oleh lintah darat. Usaha ini mendapat persetujuan dari Residen Purwokerto E. Sieburg dengan nama koperasinya Bank Penolong dan Tabungan (Hulp en Spaarbank). Pelayanan bank ini masih terbatas pada kalangan pamong praja. Namun pada tahun 1898 atas bantuan E. Sieburg dan De Wolff Van Westerrode diperluas ke sektor pertanian (Hulp- Spaar en Lanbouwcrediet Bank) dengan meniru koperasi pertanian di Jerman (Raiffeisen).

Tahun 1908, Boedi Oetomo turut serta mengembangkan koperasi di Indonesia dengan spesialisasi koperasi konsumsi untuk tujuan meningkatkan kecerdasan rakyat dalam rangka memajukan pendidikan Indonesia.

Undang-undang yang mengatur koperasi baru keluar sekitar tahun 1915, yaitu pada tanggal 7 April 1915. Undang-undang ini bersifat keras dan membatasi gerak koperasi bahkan beberapa isinya terkesan dibuat untuk mematikan koperasi. Ini menyebabkan organisasi-organisasi politik dan ekonomi sulit berkembang.

Pada tahun 1927, undang-undang koperasi dan peraturan koperasi Anak Negeri diperbaiki lagi. Perubahan ini menjadikan koperasi lebih fleksibel dan menimbulkan semangat untuk memperjuangkan koperasi kembali berkibar. Namun peraturan koperasi No. 108/1933 yang lahir di tahun 1933 kembali dibuat untuk membatasi gerak koperasi karena Belanda jengah melihat perkembangan koperasi yang kian pesat.

Zaman Jepang

Pada zaman penjajahan Jepang, kurva perkembangan koperasi Indonesia menurun drastis, bahkan hampir mendekati titik kemusnahan. Hal ini disebabkan Jepang mendirikan koperasi yang disebut KUMIAI. KUMIAI adalah koperasi ala Jepang yang diatur menurut tata cara militer Jepang dan undang-undang No.23 tahun 1942.

Awalnya tujuan KUMIAI seragam dengan koperasi sebelumnya, yaitu untukmeningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun lama kelamaan KUMIAI malah dijadikan alat pengeruk dan penguras kekayaan rakyat sehingga rakyat Indonesia pun menjadi kecewa dan antipati terhadap koperasi. Sejak saat itu, kesan buruk koperasi sudah melekat sangat erat di masyarakat kebanyakan.

Pada bulan Maret 1942 Jepang merebut kendali kekuasaan di Indoensia dari tangan Belanda.Tahun 1942-1945 koperasi Indonesia disesuaikan dengan sistem kemiliteran Jepang. Koperasi di batasi hanya untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Sesuai dengan Peraturan Kemiliteran Jepang No. 23 pasal 2, setai koperasi harus mendapatkan persetujuan ulang dari Suchokan,karena peraturan pada Zaman Belanda tidak berlaku lagi.Model koperasi yang dikembangkan oleh Jepang dengan sebutan Kumiai yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan perang Asia Timur Raya.Jepang melakukan porpaganda bahwa keberadaan Kumiai adalah untuk mensejahterahkan masyarakat, sehingga mendapat simpati yang cukup luas dari masyarakat.Keberadaan Kumiai sangat bertentangan dengan kepentingan ekonomi masyarakat, kemudian menetapkan kebijakan pemisahan antara urusan perkoperasian dengan urusan perekonomian.Dengan kebijakan tersebut pembinanan koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi masyarakat terabaikan sama sekali.Fungsi koperasi dalam priode ini hanya sebagai alat untuk mendistribusikan bahan-bahan kebutuhan pokok untuk kepentingan perang Jepang bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Kenyataan ini yang telah menyebabkan semangat koperasi di dalam masyarakat Indonesia melemah.

Zaman kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan masyarakat.

Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain “Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi rakyat , istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan kemampuan keuangan Negara”. Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat, Kabinet Wilopo mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian:

Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi perkembangan gerakan koperasi;
Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi;
Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan atas dasar koperasi.

Selanjutnya Kabinet Ali Sastroamidjodjo menjelaskan program Pemerintahannya “Untuk kepentingan pembangunan dalam lapangan perekonomian rakyat perlu pula diperluas dan dipergiat gerakan koperasi yang harus disesuaikan dengan semangat gotong royong yang spesifik di Indonesia dan besar artinya dalam usaha menggerakkan rasa percaya pada diri sendiri di kalangan rakyat. Di samping itu Pemerintah hendak menyokong usaha itu dengan memperbaiki dan memperluas perkreditan, yang terpenting antara lain dengan pemberian modal kepada badan-badan perkreditan desa seperti Lumbung dan Bank Desa, yang sedapat-dapatnya disusun dalam bentuk koperasi”.

Pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggarakan Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan KOngres di samping hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan InternationalCooperative Alliance (ICA). Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669. Undang-Undang ini disusun dalam suasana Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958.


Zaman Orde Baru

Pada tanggal 18 Desember 1967 telah dilahirkan Undang-Undang Koperasi yang baru yakni dikenal dengan UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian:

Dengan berlakunya UU No. 12/1967 koperasi-koperasi yang telah berdiri harus melaksanakan penyesuaian dengan cara menyelenggarakan Anggaran dan mengesahkan Anggaran Dasar yang sesuai dengan Undang-Undang tersebut. Dari 65.000 buah koperasi yang telah berdiri ternyata yang memenuhi syarat sekitar 15.000 buah koperasi saja.

Untuk mengatasi kelemahan organisasi dan memajukan manajemen koperasi maka sejak tahun1972 dikembangkan penggabungan koperasikoperasi kecil menjadi koperasi-koperasi yang besar. Daerah-daerah di pedesaan dibagi dalam wilayah-wilayah Unit Desa (WILUD) dan koperasikoperasi yang yang ada dalam wilayah unit desa tersebut digabungkan menjadi organisasi yang besar dan dinamakan Badan Usaha Unit Desa (BUUD). Pada akhirnya koperasi-koperasi desa yang bergabung itu dibubarkan, selanjutnya BUUD menjelmas menjadi KUD (Koperasi Unit Desa). Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang Wilayah Unit Desa, BUUD/KUD dituangkan dalam Instruksi Presiden No.4/1973 yang selanjutnya diperbaharui menjadi Instruksi Presiden No.2/1978 dan kemudian disempurnakan menjadi Instruksi Presiden No.4/1984.

KUD (Koperasi Unit Desa) mulai diberlakukan seiring dibentuknya UU.koperasi No.25/1992 oleh Prof. Dr. H. Sudarsono. Pada saat itu koperasi digunakan sebagai alat demokrasi ekonomi dan sebagai badan usaha mandiri yang terus berkembang pesat sampai sekarang.

Daftar Pustaka :
http://mohlihan.wordpress.com/2013/07/04/rangkuman-sejarah-perkembangan-koperasi-pada-empat-zaman/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/01/perkembangan-koperasi-di-indonesia-7/